Naskah Khutbah Sholat Hari Raya Iedul Adha
Rabu, 22 Agustus 2018 / 10 Dzulhijjah 1439 Hijriyah
Oleh : MUHAMMAD MALIK AMIRUDIN
Mahasiswa PPL IAIN Tulungagung
di Masjid Baitul Muttaqien SMPN 1 Ngunut
Hari raya kurban atau biasa kita sebut Idul Adha yang kita
peringati tiap tahun tak bisa terlepas dari kisah Nabi Ibrahim sebagaimana
terekam dalam Surat ash-Shaffat ayat 99-111. Meskipun, praktik kurban
sebenarnya sudah dilaksanakan putra Nabi Adam yakni Qabil dan Habil.
Diceritakan bahwa kurban yang diterima adalah kurban Habil bukan Qabil. Itu pun
bukan daging atau darah yang Allah terima namun ketulusan hati dan ketakwaan
dari si pemberi kurban.
لَن يَنَالَ اللهَ
لُحُومُهَا وَلاَدِمَآؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ
سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَاهَدَاكُمْ وَبَشِّرِ
الْمُحْسِنِينَ {37}
Daging-daging
unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. (Al-Hajj: 37)
Kendati sejarah kurban sudah berlangsung sejak generasi
pertama umat manusia, namun syariat ibadah kurban dimulai dari cerita perintah
Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya, Ismail
(‘alaihissalâm). Seorang anak yang ia idam-idamkan bertahun-tahun karena
istrinya sekian lama mandul. Dalam Surat Ash-Shaffat ayat 100 dijelaskan bahwa
semula Nabi Ibrahim berdoa:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ {100}
“Ya
Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang
shalih.”
Allah lalu memberi kabar gembira dengan anugerah kelahiran
seorang anak yang amat cerdas dan sabar (ghulâm halîm). Hanya saja, ketika anak
itu menginjak dewasa, Nabi Ibrahim diuji dengan sebuah mimpi. Ia berkata,
"Wahai anakku, dalam tidur aku bermimpi berupa wahyu dari Allah yang
meminta aku untuk menyembelihmu. Bagaimana pendapat kamu?" Anak yang saleh
itu menjawab, "Wahai bapakku, laksanakanlah perintah Tuhanmu. Insya Allah
kamu akan dapati aku termasuk orang-orang yang sabar."
Tatkala sang bapak dan anak pasrah kepada ketentuan Allah,
Ibrâhîm pun membawa anaknya ke suatu tumpukan pasir. Lalu Ibrâhîm membaringkan
Ismail dengan posisi pelipis di atas tanah dan siap disembelih.
Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullâh,
Atas kehendak Allah, drama penyembelihan anak manusia itu
batal dilaksanakan. Allah berfirman dalam ayat berikutnya (Ash-Shaffat 106 –
111) :
إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلآؤُا الْمُبِينُ {106} وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ
عَظِيمٍ {107} وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي اْلأَخِرِينَ {107} سَلاَمٌ عَلَى
إِبْرَاهِيمَ {109} كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ {110} إِنَّهُ مِنْ
عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ {111}
“Sesungguhnya
ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor
sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di
kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan
atas Ibrahim’. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat
baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.”
Hadirin yang dimulyakan Allah
Ibadah kurban tahunan yang umat Islam laksanakan adalah
bentuk i’tibar atau pengambilan pelajaran dari kisah tersebut. Setidaknya ada
tiga pesan yang bisa kita tarik dari kisah tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail
serta ritual penyembelihan hewan kurban secara umum.
Pertama, tentang totalitas kepatuhan kepada Allah subhânau
wata’âla. Nabi Ibrahim yang mendapat julukan “khalilullah” (kekasih Allah)
mendapat ujian berat pada saat rasa bahagianya meluap-luap dengan kehadiran
sang buah hati di dalam rumah tangganya. Lewat perintah menyembelih Ismail,
Allah seolah hendak mengingatkan Nabi Ibrahim bahwa anak hanyalah titipan.
Anak—betapapun mahalnya kita menilai—tak boleh melengahkan kita bahwa hanya
Allahlah tujuan akhir dari rasa cinta dan ketaatan.
Nabi
Ibrahim lolos dari ujian ini. Ia membuktikan bahwa dirinya sanggup mengalahkan
egonya untuk tujuan mempertahankan nilai-nilai Ilahi. Dengan penuh ketulusan,
Nabi Ibrahim menapaki jalan pendekatan diri kepada Allah sebagaimana makna
qurban, yakni pendekatan diri.
Sementara
Nabi Ismail, meski usianya masih belia, mampu membuktikan diri sebagai anak
berbakti dan patuh kepada perintah Tuhannya. Yang menarik, ayahnya menyampaikan
perintah tersebut dengan memohon pendapatnya terlebih dahulu, dengan tutur kata
yang halus, tanpa unsur paksaan. Atas dasar kesalehan dan kesabaran yang ia
miliki, ia pun memenuhi panggilan Tuhannya.
Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullâh,
Pelajaran kedua adalah tentang kemuliaan manusia. Dalam kisah
itu di satu sisi kita diingatkan untuk jangan menganggap mahal sesuatu bila itu
untuk mempertahankan nilai-nilai ketuhanan, namun di sisi lain kita juga
diimbau untuk tidak meremehkan nyawa dan darah manusia. Penggantian Nabi Ismail
dengan domba besar adalah pesan nyata bahwa pengorbanan dalam bentuk tubuh
manusia—sebagaimana yang berlangsung dalam tradisi sejumlah kelompok pada zaman
dulu—adalah hal yang diharamkan.
Manusia
dengan manusia lain sesungguhnya adalah saudara. Mereka dilahirkan dari satu
bapak, yakni Nabi Adam ‘alaihissalâm. Seluruh manusia ibarat satu tubuh yang
diciptakan Allah dalam kemuliaan. Karena itu membunuh atau menyakiti satu
manusia ibarat membunuh manusia atau menyakiti manusia secara keseluruhan.
Larangan mengorbankan manusia sebetulnya penegasan kembali tentang luhurnya kemanusiaan
di mata Islam dan karenanya mesti dijamin hak-haknya.
Pelajaran yang ketiga yang bisa kita ambil adalah tentang
hakikat pengorbanan. Sedekah daging hewan kurban hanyalah simbol dari makna
korban yang sejatinya sangat luas, meliputi pengorbanan dalam wujud harta
benda, tenaga, pikiran, waktu, dan lain sebagainya. Pengorbanan merupakan
manifestasi dari kesadaran kita sebagai makhluk sosial. Bayangkan, bila
masing-masing manusia sekadar memenuhi ego dan kebutuhan sendiri tanpa peduli
dengan kebutuhan orang lain, alangkah kacaunya kehidupan ini. Orang mesti
mengorbankan sedikit waktunya, misalnya, untuk mengantre dalam sebuah loket
pejuatan tiket, bersedia menghentikan sejenak kendaraannya saat lampu merah
lalu lintas menyala, dan lain-lain. Sebab, keserakahan hanya layak dimiliki
para binatang. Di sinilah perlunya kita “menyembelih” ego kebinatangan kita,
untuk menggapai kedekatan (qurb) kepada Allah, karena esensi kurban adalah
solidaritas sesama dan ketulusan murni untuk mengharap keridhaan Allah. Wallahu
a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar