Jumat, 21 September 2018

Bermain Fokus Angka Bersama Kakak Mahasiswa PPL dari IAIN Tulungagung


Bermain Fokus Angka Bersama Kakak Mahasiswa PPL dari IAIN Tulungagung

Kegiatan rutin Remaja Masjid Baitul Muttaqien SMPN 1 Ngunut pada hari Jumat tanggal 24 Agustus 2018 yang lalu dilaksanakan dengan didampingi oleh kakak PPL dari IAIN Tulungagung, Seperti biasa, kegiatan diisi dengan pelatihan qiroah dibimbing oleh kak Budi Wahono. Setelah kegiatan belajar qiroah selesai semua diajak bergembira melakukan game / ice breaking untuk mereda suasana yg sebelumnya tegang supaya menjadi rileks  dengan  permainan yang juga untuk melatih konsentrasi. Game yang dilakukan dinamai "fokus angka"
Dalam aturan permainannya, semua mengikuti instruksi untuk membentuk kelompok sesuai dengan angka yang disebutkan, bagi yang tidak mendapat kelompok dihukum dengan memperagakan game tebak gaya.
Saat permainan berlangsung semua mengikuti dengan senang hati, sampai kegiatan selesai.


Nah, bagi anggota remaja masjid yang ingin mengenal lebih dekat dengan kakak PPL dari IAIN Tulungagung,berikut ini biodatanya :

Nama                           : BETI NOVI
Jurusan                         : Tadris Inggris
Alamat                          : Ds. Selorejo RT 01 RW 02 Kecamatan Ngunut Kabupaten Tulungagung
FB                                : Beti Novi Anna
IG                                 : @beti_nov96

Nama                           : ARINA QONWAUL ANFI

Jurusan                         : Tadris Matematika
Nama Panggilan            : Rina
Alamat                          : Jatirejo, Tenggur, Rejotangan, Tulungagung,
FB                                : Arina Qonwaul Anfi,
IG                                 : arinaanfi2


Foto - foto kegiatan :













KHUTBAH JUM’AT MASJID BAITUL MUTTAQIEN SMPN 1 NGUNUT

KHUTBAH JUM’AT MASJID BAITUL MUTTAQIEN
SMPN 1 NGUNUT
JUM’AT 21 SEPTEMBER 2018
KHATIB : H. SIPUR, S.Pd 

Tema : BICARA TANPA PAHALA
 Waktu adalah  modal untuk  melakukan amal sholih. Orang yang mengerti hakikat ini, maka dia tidak akan menggunakannya kecuali untuk perkara yang bermanfaat. Dia akan berusaha memanfaatkan segala potensi diri untuk mendapatkan pahala sebanyak mungkin. Diantara yang bisa mudah dimanfaatkan untuk menabung bekal disisi Allah ‘Azza wa Jalla adalah lidah. Dengan lidah, seseorang bisa berdzikir dan saling nasehat-menasehati sehingga meraih banyak  pahala. Namun sebaliknya, lidah juga bisa mengakibatkan dosa dan menyeret seseorang ke neraka, jika tidak dimanfaatkan untuk kebaikan. Kesadaran seseorang terhadap fungsi dan bahaya lisan ini akan mendorong dirinya untuk menjaga lidah, tidak berbicara kecuali yang bermanfaat.
Berikut khotib nukilkan beberapa bencana yang dapat ditimbulkan oleh lidah. Dengan harapan agar kita menjauhinya setelah kita memahaminya. Karena kita tidak akan bisa menghindarinya kalau kita belum mengetahui berbagai bencana ini. Di antara bencana-bencana itu adalah :
Pertama: Membicarakan sesuatu yang tidak bermanfaat.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Sesungguhnya di antara kebaikan Islam  seseorang adalah dia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat.” (HR. Tirmidzi).
Sesuatu yang tidak bermanfaat itu, bisa berupa perkataan atau perbuatan; perkara yang haram, atau makruh, atau perkara mubah yang tidak bermanfaat. Oleh karena itu, supaya terhindar dari bahaya lisan yang pertama ini, hendaklah seseorang selalu megatakan sesuatu yang mengandung kebaikan. Jika tidak bisa, hendaknya diam. Nabi Muhammad ﷺ bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia mengucapkan sesuatu yang baik atau diam. (HR. Bukhari dan Muslim).
Walaupun ini berat, namun seyogyanya seorang hamba yang ingin selamat di akhirat agar selalu berusaha untuk melakukannya.
Kedua: Berdebat dengan cara batil atau tanpa ilmu.
Nabi ﷺ bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling dimurkai oleh Allah adalah orang yang selalu mendebat.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Mendebat dalam hadits ini maksudnya adalah mendebat dengan cara batil atau tanpa ilmu. Sedangkan orang yang berada di pihak yang benar, sebaiknya dia juga menghindari perdebatan. Karena debat itu akan membangkitkan emosi, mengobarkan kemurkaan, menyebabkan dendam, dan mencela orang lain. Nabi ﷺ bersabda, “Saya memberikan jaminan rumah di pinggiran surga bagi orang yang meningalkan perdebatan walaupun dia orang yang benar. Saya memberikan jaminan rumah di tengah surga bagi orang yang meningalkan kedustaan walaupun dia bercanda. Saya memberikan jaminan rumah di surga yang tinggi bagi orang yang membaguskan akhlaqnya. (HR. Abu Dawud).
Mengingkari kemungkaran dan menjelaskan kebenaran merupakan kewajiban seorang Muslim. Jika penjelasan itu diterima, itulah yang dikehendaki. Namun jika ditolak, maka hendaklah dia meninggalkan perdebatan. Ini dalam  masalah agama, apalagi dalam urusan dunia, maka tidak ada alasan untuk berdebat.
Ketiga: Banyak berbicara, suka mengganggu dan sombong. Masalah-masalah ini dijelaskan oleh Nabi ﷺdengan sabda beliau  : “Sesungguhnya termasuk orang yang paling kucintai di antara kamu dan paling dekat tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah orang-orang yang paling baik akhlaqnya di antara kamu. Dan sesungguhnya orang yang paling kubenci di antara kamu dan paling jauh tempat duduknya denganku pada hari kiamat adalah orang yang banyak bicara, orang yang biasa mengganggu orang lain, dan orang-orang yg sombong.
Imam Ibnul Atsir rahimahullah menjelaskan orang-orang yang banyak bicara maksudnya berbicara dengan memaksakan diri dan keluar dari kebenaran. atau juga orang-orang yang berbicara panjang lebar tanpa hati-hati. Atau juga orang yang mengolok-olok orang lain dengan mencibirkan bibir kearah mereka”.
Keempat: Mengucapkan perkataan keji, jorok, celaan, dan semacamnya.
Semua hal ini tercela dan terlarang. Nabi ﷺ bersabda, “Seorang mukmin bukanlah orang yang banyak mencela, bukan orang yang banyak melaknat, bukan orang yang keji (buruk akhlaqnya), dan bukan orang yang jorok omongannya.” (HR. Tirmidzi, ).
Keji dan jorok adalah mengungkapkan perkara-perkara yang dianggap tabu dengan kata-kata gamblang. Biasanya tentang lafazh-lafazh jima’ dan yang berkaitan dengannya. Orang-orang yang sopan akan menjauhi ungkapan-ungkapan  itu dan mengunakan kata-kata sindiran, sebagaimana dicontohkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya ﷺ. Betapa banyak perkataan keji dan jorok tersebar di zaman ini, di koran-koran, majalah-majalah, buku-buku, novel-novel, radio, HP, atau lainnya. Bahkan ada perkara yang lebih buruk dan lebih keji dari sekedar ucapan !! Namun yang bisa merasakan keburukannya adalah orang-orang yang hatinya masih hidup. Sedangkan orang yang hatinya sakit atau mati, maka dia tidak akan merasakan keburukannya, bahkan mungkin sebaliknya, dia akan merasa nikmat. Sebagaimana luka yang hanya dirasakan oleh orang yang masih hidup, sedangkan orang yang mati, dia tidak akan merasakan sakit akibat luka.
Kelima: Keterlaluan dalam bercanda.
Yaitu semua waktunya digunakan untuk bercanda dan membuat orang tertawa. Sesungguhnya banyak canda akan menjatuhkan wibawa, menyebabkan dendam dan permusuhan, serta mematikan hati. Nabi  ﷺ bersabda,
“Janganlah kamu memperbanyak tawa, karena sesungguhnya banyak tertawa itu akan mematikan hati.” (HR. Ibnu Majah). Apalagi jika banyak bercanda ini ditambahi dusta, maka jelas akan lebih berbahaya. Nabi ﷺ memperingatkan dengan sabda beliau  “Kecelakaan bagi orang yang menceritakan suatu, lalu dia berdusta untuk membuat orang-orang tertawa. Kecelakaan baginya !.” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud).
Namun jika canda itu dilakukan kadang-kadang dan dengan perkataan yang benar serta dilakukan kepada orang-orang yang membutuhkannya, seperti anak-anak, wanita, sebagian orang laki-laki, sebagaimana canda Nabi ﷺ, maka hal itu tidak mengapa. Karena canda akan menyenangkan hati dan menyegarkan suasana. Sebagian ulama menyatakan bahwa canda dalam perkataan itu seperti garam dalam makanan. 


Minggu, 02 September 2018

KHUTBAH HARI RAYA IEDUL ADHA 1439 H MASJID BAITUL MUTTAQIEN SMPN 1 NGUNUT

Naskah Khutbah Sholat Hari Raya Iedul Adha
Rabu, 22 Agustus 2018 / 10 Dzulhijjah 1439 Hijriyah
Oleh : MUHAMMAD MALIK AMIRUDIN
Mahasiswa PPL IAIN Tulungagung
di Masjid Baitul Muttaqien SMPN 1 Ngunut


Hari raya kurban atau biasa kita sebut Idul Adha yang kita peringati tiap tahun tak bisa terlepas dari kisah Nabi Ibrahim sebagaimana terekam dalam Surat ash-Shaffat ayat 99-111. Meskipun, praktik kurban sebenarnya sudah dilaksanakan putra Nabi Adam yakni Qabil dan Habil. Diceritakan bahwa kurban yang diterima adalah kurban Habil bukan Qabil. Itu pun bukan daging atau darah yang Allah terima namun ketulusan hati dan ketakwaan dari si pemberi kurban.
لَن يَنَالَ اللهَ لُحُومُهَا وَلاَدِمَآؤُهَا وَلَكِن يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللهَ عَلَى مَاهَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ {37}
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. (Al-Hajj: 37)
Kendati sejarah kurban sudah berlangsung sejak generasi pertama umat manusia, namun syariat ibadah kurban dimulai dari cerita perintah Allah kepada Nabi Ibrahim untuk menyembelih anak kesayangannya, Ismail (‘alaihissalâm). Seorang anak yang ia idam-idamkan bertahun-tahun karena istrinya sekian lama mandul. Dalam Surat Ash-Shaffat ayat 100 dijelaskan bahwa semula Nabi Ibrahim berdoa:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ {100}
“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.”
Allah lalu memberi kabar gembira dengan anugerah kelahiran seorang anak yang amat cerdas dan sabar (ghulâm halîm). Hanya saja, ketika anak itu menginjak dewasa, Nabi Ibrahim diuji dengan sebuah mimpi. Ia berkata, "Wahai anakku, dalam tidur aku bermimpi berupa wahyu dari Allah yang meminta aku untuk menyembelihmu. Bagaimana pendapat kamu?" Anak yang saleh itu menjawab, "Wahai bapakku, laksanakanlah perintah Tuhanmu. Insya Allah kamu akan dapati aku termasuk orang-orang yang sabar."
Tatkala sang bapak dan anak pasrah kepada ketentuan Allah, Ibrâhîm pun membawa anaknya ke suatu tumpukan pasir. Lalu Ibrâhîm membaringkan Ismail dengan posisi pelipis di atas tanah dan siap disembelih.
Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullâh,
Atas kehendak Allah, drama penyembelihan anak manusia itu batal dilaksanakan. Allah berfirman dalam ayat berikutnya (Ash-Shaffat 106 – 111) :

إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلآؤُا الْمُبِينُ {106} وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ {107} وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي اْلأَخِرِينَ {107} سَلاَمٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ {109} كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ {110} إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ {111}
“Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) ‘Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim’. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba Kami yang beriman.”
Hadirin yang dimulyakan Allah
Ibadah kurban tahunan yang umat Islam laksanakan adalah bentuk i’tibar atau pengambilan pelajaran dari kisah tersebut. Setidaknya ada tiga pesan yang bisa kita tarik dari kisah tentang Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail serta ritual penyembelihan hewan kurban secara umum.
Pertama, tentang totalitas kepatuhan kepada Allah subhânau wata’âla. Nabi Ibrahim yang mendapat julukan “khalilullah” (kekasih Allah) mendapat ujian berat pada saat rasa bahagianya meluap-luap dengan kehadiran sang buah hati di dalam rumah tangganya. Lewat perintah menyembelih Ismail, Allah seolah hendak mengingatkan Nabi Ibrahim bahwa anak hanyalah titipan. Anak—betapapun mahalnya kita menilai—tak boleh melengahkan kita bahwa hanya Allahlah tujuan akhir dari rasa cinta dan ketaatan.
Nabi Ibrahim lolos dari ujian ini. Ia membuktikan bahwa dirinya sanggup mengalahkan egonya untuk tujuan mempertahankan nilai-nilai Ilahi. Dengan penuh ketulusan, Nabi Ibrahim menapaki jalan pendekatan diri kepada Allah sebagaimana makna qurban, yakni pendekatan diri.
Sementara Nabi Ismail, meski usianya masih belia, mampu membuktikan diri sebagai anak berbakti dan patuh kepada perintah Tuhannya. Yang menarik, ayahnya menyampaikan perintah tersebut dengan memohon pendapatnya terlebih dahulu, dengan tutur kata yang halus, tanpa unsur paksaan. Atas dasar kesalehan dan kesabaran yang ia miliki, ia pun memenuhi panggilan Tuhannya.
Jamaah shalat Idul Adha rahimakumullâh,
Pelajaran kedua adalah tentang kemuliaan manusia. Dalam kisah itu di satu sisi kita diingatkan untuk jangan menganggap mahal sesuatu bila itu untuk mempertahankan nilai-nilai ketuhanan, namun di sisi lain kita juga diimbau untuk tidak meremehkan nyawa dan darah manusia. Penggantian Nabi Ismail dengan domba besar adalah pesan nyata bahwa pengorbanan dalam bentuk tubuh manusia—sebagaimana yang berlangsung dalam tradisi sejumlah kelompok pada zaman dulu—adalah hal yang diharamkan.

Manusia dengan manusia lain sesungguhnya adalah saudara. Mereka dilahirkan dari satu bapak, yakni Nabi Adam ‘alaihissalâm. Seluruh manusia ibarat satu tubuh yang diciptakan Allah dalam kemuliaan. Karena itu membunuh atau menyakiti satu manusia ibarat membunuh manusia atau menyakiti manusia secara keseluruhan. Larangan mengorbankan manusia sebetulnya penegasan kembali tentang luhurnya kemanusiaan di mata Islam dan karenanya mesti dijamin hak-haknya.
Pelajaran yang ketiga yang bisa kita ambil adalah tentang hakikat pengorbanan. Sedekah daging hewan kurban hanyalah simbol dari makna korban yang sejatinya sangat luas, meliputi pengorbanan dalam wujud harta benda, tenaga, pikiran, waktu, dan lain sebagainya. Pengorbanan merupakan manifestasi dari kesadaran kita sebagai makhluk sosial. Bayangkan, bila masing-masing manusia sekadar memenuhi ego dan kebutuhan sendiri tanpa peduli dengan kebutuhan orang lain, alangkah kacaunya kehidupan ini. Orang mesti mengorbankan sedikit waktunya, misalnya, untuk mengantre dalam sebuah loket pejuatan tiket, bersedia menghentikan sejenak kendaraannya saat lampu merah lalu lintas menyala, dan lain-lain. Sebab, keserakahan hanya layak dimiliki para binatang. Di sinilah perlunya kita “menyembelih” ego kebinatangan kita, untuk menggapai kedekatan (qurb) kepada Allah, karena esensi kurban adalah solidaritas sesama dan ketulusan murni untuk mengharap keridhaan Allah. Wallahu a’lam.

Agenda Rutin Remaja Masjid: Bimbingan Membaca Al-Qur’an dan Mengasah Pengetahuan Dasar Tentang SholatLewat Teka Teki Silang Bersama Mahasiswa PPL UIN Tulungangung

  Agenda Rutin Remaja Masjid: Bimbingan Membaca Al-Qur’an dan Mengasah Pengetahuan Dasar Tentang SholatLewat Teka Teki Silang Bersama Mahasi...