Rabu, 28 Februari 2018

Sisi Ilmiah Shalat Tahajud (Khutbah Jumat Masjid Baitul Muttaqin SMPN 1 Ngunut)

Sisi Ilmiah Shalat Tahajud
(Khutbah Jumat Masjid Baitul Muttaqin SMPN 1 Ngunut)
Khatib :Bpk. Mujiono, M.Pd.I

Ditulis ulang oleh anggota Remaja Masjid :
Nama : Nur’aini Fauziyah
Kelas : VIII-A
         
                                                                                          
Kaum Muslimin, jamaah shalat Jum’at yang dirahmati Allah.
Marilah pada kesempatan yang berbahagia ini, kita senantiasa mengungkapkan rasa syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, taufik serta hidayah-Nya. Dengan karunia dan hidayah itu, kita menjadi orang yang beriman, ber-Islam, dan selalu mengambil pilihan hidup yang terbaik atau ihsan.
Shalawat dan salam semoga selalu terlimpah pada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW, keluarga, sahabatnya, kita semua, dan siapa saja yang mencintai dan mengikutinya.
Sidang jamaah Jum’at rahimakumullah.
Tahajud artinya bangun di waktu malam hari. Shalat Tahajud adalah shalat sunnah yang utama setelah shalat wajib. Nabi Muhammad saw pernah bersabda:
Shalat yang paling utama setelah shalat fardhu adalah shalat sunnah di malam hari” (HR.Muslim).
Allah SWT memuji mukmin yang berkhalwat di malam hari; menyendiri untuk bermunajat, mentadabburi Al-Qur’an, berserah diri di hadapan-Nya, serta mengakhiri dengan memohon ampun dan bertaubat. Semua itu semata dilakukan untuk merengkuh cinta-Nya.
Perintah melaksanakan shalat Tahajud adalah wajib. Allah SWT berfirman:


“Hai orang yang berselimut! Bangunlah untuk menunaikan shalat malam ini, yang hanya sebagian kecil. Separuhnya atau kurang dari itu sedikit. Atau lebihkanlah dan bacalah Al-Qur’an dengan perlahan, dengan nada berirama,” (Qs Al-Muzammil [73]:1-4).
Namun, karena shalat Tahajud ini dirasa berat untuk dikerjakan umat islam secara rutin dan kontinu, maka turunlah ayat berikut:


“Sesungguhnya, Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an...” (Qs Al-Muzammil [73]: 20).
Setelah ayat di atas turun, hukum mendirikan shalat Tahajud menjadi sunnah. Namun menyimpan keutamaan yang sangat besar. Allah SWT berfirman:


“Dan waktu malam, shalat tahajudlah sebagai ibadah tambahan bagimu; semoga Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji dan terhormat.” (Qs Al-Isra’ [17]: 79).

Sidang jamaah Jum’at yang berbahagia.
Dikarenakan kedudukan shalat Tahajud yang istimewa itulah, tidak sedikit ilmuwan tertarik untuk mencoba menyibak dan meneliti keutamaan shalat Tahajud dari segi medis atau pengaruhnya terhadap tubuh manusia.
Salah satunya disertai dengan judul “Pengaruh Shalat Tahajud terhadap Peningkatan Perubahan Respons Ketahanan Tubuh Imonologik; Suatu Pendekatan Psiko-neuroinologi.”
Karya ilmiah yang berhasil dipertahankan M Sholeh, dosen UIN Sunan Ampel Surabaya pada jurusan Imunologi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga ini, menyebutkan bahwa shalat Tahajud yang dilakukan secara terus-menerus, tepat gerakannya, khusyuk dan ikhlas, secara medis akan menumbuhkan respons ketahanan tubuh (imunologi), khususnya pada imunoglobin M, G, A dan limfosit yang berupa persepsi dan motivati positif, serta dapat mengefektifkan kemampuan individu untuk menanggulangi masalah yang dihadapi (coping).

Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah SWT.
Bangun di waktu malam adalah salah satu aktivitas yang memberikan manfaat. Sebab, pada saat itu energi dalam tubuh seseorang berada dalam kondisi rendah dan medan refleksi yang masih bersih. Dampaknya, akan menambah intuisi dan kesadaran diri seseorang untuk mampu mengendalikan emosi negatif.

Hadirin sidang jamaah Jum’at yang berbahagia
Demikianlah gambaran bangun malam dan ihwal orang yang selalu bangun pada malam hari. Mereka tidak semata-mata bangun lalu tidur lagi, tetapi mereka bangun untuk bermunajat kepada Allah SWT.

KHUTBAH KEDUA
Hadirin sidang jama’ah Jum’at yang berbahagia.
Untuk mengakhiri khutbah kedua ini, marilah kita bersama-sama berdoa, memohon keharibaan Allah SWT, dengan khusyu’ dan ikhlas, agar kita semua menjadi hamba yang senantiasa bersyukur, serta mampu menjalankan tuntunan yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW secara sempurna.



Khutbah Jum’at Masjid Baitul Muttaqien SMPN 1 Ngunut

PEMAAF
Khatib                 : Mujiono, M.Pd.I
Ditulis ulang oleh   : Reyhan Adivara Maulana
Kelas                 : IX A (Anggota Remaja Masjid)
Assalamualaikum Wr. Wb.
Kaum Muslimin sidang Jum’at rahimakumullah                                                  Terlebih dahulu marilah kita senantiasa memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah banyak memberikan kenikmatan. Satu kenikmatan yang sedang kita rasakan adalah nikmat sehat, nikmat sempat dan nikmat dapat melaksanankan salah satu kewajiban seorang muslimin yaitu melaksanakan ibadah sholat jum’at. Mudah-mudahan apa yang sudah kita lakukan dan yang akan kita lakukan senantiasa mendapat hidayah dan taufiq serta ridha dari Allah SWT. Amin,

Selanjutnya saya sebagai khatib mengajak kepada para jamaah, marilah pada kesempatan yang bahagia ini kita juga senantiasa meningkatkan taqwa kita kepada Allah, taqwa dalam melaksanakan apa-apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa-apa yang dilarang-Nya. Mudah-mudahan dengan bekal taqwa inilah apa yang menjadi cita-cita hidup kita, akan mendapat hidayah, taufiq serta ridha dan diterima oleh Allah sebagai amal shalih yang nantinya akan mendapat pahala dari Allah SWT.

Kaum muslimin sidang Jum’at rahimakumullah
Pada kesempatan khutbah pada hari ini, khatib juga ingin menyampaikan tema/judul khutbah yaitu “PEMAAF”. Mengapa tema ini kami angkat ? Kalau kita melihat, para politis, para ekonom dan orang-orang yang mempunyai kepentingan baik untuk pribadi maupun golongan, baik itu dalam bentuk meraih jabatan ataupun mencari popularitas tidaklah sedikit  bahwa perkataannya kadang kadang menjadikan telinga kita ini menjadi panas atau memunculkan pro dan kontra.

Kaum muslimin sidang Jum’at rahimakumullah
Untuk itu kami mengajak para jama’ah Jum’ah, marilah kita menengok sejenak dan mengingat kembali serta merenungkan konsep-konsep “pemaaf” atau saling memaafkan satu dengan yang lain termaktub dalam Al-Qur’an maupun konsep Rasulullah di dalam hadisnya yang berkaitan dengan pemaaf.

Pengertian pemaaf. Pemaaf adalah sikap memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada sedikit rasa benci dan keinginan untuk membalas. Dalam bahasa arab sifat pemaaf disebut dengan al-‘afwu yang berarti kelebihan atau yang berlebih, sebagaimana firman Allah yang terdapat pada surat Al-Baqarah ayat 219

yang artinya : “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: “yang berlebih dari keperluannya.” (QS Al-Baqarah 2:219)
Dari ayat Al-Quran di atas dapat diambil satu analisa bahwa sesuatu yang berlebih seharusnya diberikan agar keluar. Sehingga kata al-‘afwu dalam kata diatas kemudian berkembang maknanya menjadi menghapus. Dalam konteks bahasa memaafkan berarti menghapus luka atau bekas luka yang ada di dalam hati.
Sifat pemaaf adalah salah satu dari manifestasi ketaqwaan kepada Allah SWT sebagaimana dalam Firman-Nya :


yang artinya : “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik diwaktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebijakan” (Ali Imran 3:133-134)

Kaum muslimin sidang Jum’at rahimakumullah.
Dari ayat Al-Quran diatas dapat diambil satu penegasan bahwa Islam mengajarkan kepada kita untuk dapat memaafkan kesalahan orang lain tanpa harus menunggu permohonan maaf dinyatakan dari yang bersalah. Menurut M. Quraish Shihab, tidak ditemukan satu ayat pun yang menganjurkan kita untuk meminta maaf, tetapi yang ada adalah perintah memberi maaf.
Sekalipun orang yang bersalah telah menyadari kesalahannya dan berniat untuk minta maaf, tetapi boleh jadi dia mengalami hambatan psikologis untuk mengajukan permintaan maaf. Apalagi bagi orang-orang yang merasa status sosialnya lebih tinggi daripada orang yang akan dimintai maaf itu. Misalnya seorang pemimpin kepada rakyatnya, seorang bapak pada ayahnya, seorang manajer kepada karyawannya , atau yang lebih tua kepada yang lebih muda. Barangkali itulah salah satu hikmahnya, kenapa Allah memerintahkan kita untuk memberi maaf sebelum dimintai maaf.
Berkaitan dengan beberapa pengertian tentang maaf tersebut kita juga harus memberi keseimbangan dalam bentuk-bentuk lain yang dapat memperkokoh perbuatan memberi maaf, antara lain adalah lapang dada.
Tindakan memberi maaf sebaiknya diikuti dengan tindakan berlapang dada. Di dalam beberapa ayat Al-Quran permintaan memaafkan diikuti dengan perintah berlapang dada, Antaranya :


    “Maafkanlah mereka dan berlapang dadalah, sesungguhnya Allah senang kepada orang orang yang berbuat kebajikan (terhadap yang melakukan kesalahan kepadamu)” (Al-Maidah 5:13)
Dalam firmannya yang lain adalah surat An-Nur :


yang artinya:
“Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin diampuni oleh Allah?” (An-Nur 24:22)
Untuk lebih memahami maksud lapang dada ada baiknya ditinjau kebahasaan. Berlapang dada dalam bahasa arab disebut ash-shafu  yang secara etimologis  berarti lapang. Dari sini ash-shafu dapat diartikan kelapangan dada. Ibarat menulis di selembar kertas, jika terjadi kesalahan tulis, kesalahan itu dapat dihapus dengan alat hapus tentu akan meninggalkan bekas, bahkan kertas tersebut akan terlihat kusut. Supaya lebih baik dan lebih rapi, sebaiknya diganti saja kertasnya dengan lembaran baru.
Menghapus kesalahan itulah yang disebut memaafkan, sedangkan berlapang dada ialah menukar lembaran yang salah dengan lembaran yang baru sama sekali. Jadi berlapang dada menuntut seseorang untuk membuka lembaran baru hingga sedikitpun hubungan tidak ternodai, tidak kusut dan tidak seperti halaman yang telah dihapus kesalahannya.
Demikianlah Khutbah yang singkat ini, mudah-mudahan ada manfaatnya dan dapat dijadikan bahan renungan serta bahan evaluasi kita bersama.

                                        KHUTBAH KEDUA
Ma’asriyal muslimin rahimakumullah.
Pada khutbah kedua ini kami tidak akan menyimpulkan materi khutbah yang sudah disampaikan pada khutbah yang pertama, tetapi saya ber-khusnudzan kepada para jamaah bahwa apa-apa yang sudah saya saya sampaikan bisa memilah dan memilih mana yang baik dan bermanfaat serta mana yang tidak baik dan tidak bermanfaat. Yang baik tentunya kita lestarikan dan sebaliknya yang tidak,  harus kita jauhkan dengan semaksimal mungkin.
Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa mendapat hidayah, taufiq dari Allah SWT. Amien.

Kamis, 08 Februari 2018

HIJAB, PENUTUP AURAT, KEWAJIBAN BAGI WANITA MUSLIMAH.

(catatan kecil dari kegiatan lomba kreasi hijab Remas Baitul Muttaqien SMPN 1 Ngunut)
Jumat tanggal 2 Februari 2018 - bagian satu
Hijab adalah kata dalam bahasa Arab yang berarti "penghalang". Pada beberapa negara berbahasa Arab serta negara-negara Barat, kata hijab lebih sering merujuk kepada kerudung yang digunakan oleh wanita muslim. Namun dalam keilmuan Islam hijab lebih tepat merujuk kepada tatacara berpakaian yang pantas sesuai dengan tuntunan agama.
Dalam Al Qur’an pada dua surat Al Ahzab 59 dan An Nur 31 disebutkan kewajiban wanita muslim menggunakan hijab:
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Ahzab :59)
Kemudian dalam surat Annuur  ayat 31:
...dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya... (An Nuur :31)
Hijab itu adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya berdasarkan firman-Nya (yang artinya): “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mu’min dan tidak pula bagi perempuan yang mu’minah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat, dengan kesesatan yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab: 36)
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan kaum wanita untuk menggunakan hijab sebagaimana firman-Nya (yang artinya): “Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menHai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.ahan pandangannya, dan memelihara kemaluan-nya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Q.S An-Nur: 31)
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah.” (Q.S. Al-Ahzab: 33)
Apabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 53). Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Wanita itu aurat” maksudnya adalah bahwa ia harus menutupi tubuhnya.
Hijab Itu ‘Iffah (Kemuliaan)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan kewajiban menggunakan hijab sebagai tanda ‘Iffah (menahan diri dari maksiat). Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu.” (Q.S. Al-Ahzab: 59)
Itu karena mereka menutupi tubuh mereka untuk menghindari dan menahan diri dari perbuatan jelek (dosa), “karena itu mereka tidak diganggu”. Maka orang-orang fasik tidak akan mengganggu mereka. Dan pada firman Allah “karena itu mereka tidak diganggu” sebagai isyarat bahwa mengetahui keindahan tubuh wanita adalah suatu bentuk gangguan berupa fitnah dan kejahatan bagi mereka.
Hijab Itu Kesucian
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Apabila kamu meminta suatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Q.S. Al-Ahzab: 53)
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyifati hijab sebagai kesucian bagi hati orang-orang mu’min, laki-laki maupun perempuan. Karena mata bila tidak melihat maka hatipun tidak berhasrat. Pada saat seperti ini, maka hati yang tidak melihat akan lebih suci. Ketiadaan fitnah pada saat itu lebih nampak, karena hijab itu menghancurkan keinginan orang-orang yang ada penyakit di dalam hatinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman (yang artinya): “Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (Q.S. Al-Ahzab: 32)
Hijab Itu Pelindung
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya Allah itu Malu dan Melindungi serta Menyukai rasa malu dan perlindungan”
Hijab Itu Taqwa
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman(yang artinya): “Hai anak Adam! Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik.” (Q.S. Al-A’raaf: 26)
Hijab Itu Iman
Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak berfirman kecuali kepada wanita-wanita beriman (yang artinya):“Dan katakanlah kepada wanita yang beriman.” (Q.S. An-Nur: 31).
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman (yang artinya): “Dan istri-istri orang beriman.” (Q.S. Al-Ahzab: 59)
Dan ketika wanita-wanita dari Bani Tamim menemui Ummul Mu’minin, Aisyah radhiyallahu anha dengan pakaian tipis, beliau berkata: “Jika kalian wanita-wanita beriman, maka (ketahuilah) bahwa ini bukanlah pakaian wanita-wanita beriman, dan jika kalian bukan wanita beriman, maka silahkan nikmati pakaian itu.”
Hijab Itu Haya’ (Rasa Malu)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya setiap agama itu memiliki akhlak dan akhlak Islam itu adalah rasa malu.
Sabda beliau yang lain (yang artinya):“Malu itu adalah bagian dari iman dan iman itu di surga.”
Hijab Itu Perasaan Cemburu
Hijab itu selaras dengan perasaan cemburu yang merupakan fitrah seorang laki-laki sempurna yang tidak senang dengan pandangan-pandangan khianat yang tertuju kepada istri dan anak wanitanya.
Beberapa syarat hijab yang harus terpenuhi:
1. Menutupi seluruh anggota tubuh wanita -berdasarkan pendapat yang paling kuat.
2. Hijab itu sendiri pada dasarnya bukan perhiasan.
3. Tebal dan tidak tipis atau trasparan.
4. Longgar dan tidak sempit atau ketat.
5. Tidak menyerupai pakaian laki-laki.
 FOTO - FOTO KEGIATAN








Agenda Rutin Remaja Masjid: Bimbingan Membaca Al-Qur’an dan Mengasah Pengetahuan Dasar Tentang SholatLewat Teka Teki Silang Bersama Mahasiswa PPL UIN Tulungangung

  Agenda Rutin Remaja Masjid: Bimbingan Membaca Al-Qur’an dan Mengasah Pengetahuan Dasar Tentang SholatLewat Teka Teki Silang Bersama Mahasi...